
Ada satu hal yang membuat sebuah komunitas berbeda dari sekadar kumpulan orang: keyakinan pada tujuan. Keyakinan itu bukan sekadar cita-cita yang dikibarkan seperti spanduk, melainkan visi yang dijalani, ditopang oleh disiplin dan keberanian. Itulah yang dikerjakan oleh Komunitas Inisiatif Konservasi Hutan Wakaf di Aceh.
Mereka tidak lahir dari mimpi yang mengawang. Mereka tumbuh dari kenyataan yang getir: tanah yang gundul, hutan yang terbelah, air yang mengering. Dari luka itu lahir gagasan: hutan harus diselamatkan bukan hanya sebagai sumber daya, tapi sebagai amanah. Sebagai warisan yang tak boleh disia-siakan. Maka tanah kritis dijadikan wakaf, hutan tumbuh kembali sebagai doa yang berwujud batang, daun, dan akar.
Di sana, visi bekerja bukan sebagai retorika. Visi menjadi arah yang merapatkan barisan. Ia memberi ketabahan ketika usaha terasa mustahil. Sebab hutan bukan hanya ruang hijau: ia adalah pengikat ingatan kita pada kehidupan yang lebih besar.
Komunitas ini menolak sikap tergesa-gesa. Mereka tahu, menumbuhkan hutan bukan perkara satu musim. Ia menuntut waktu, kesabaran, dan kerja sunyi. Tapi justru di situlah letak semangat visioner itu: berani meletakkan harapan pada sesuatu yang mungkin baru tampak setelah puluhan tahun.
Gunung dan lembah Aceh menyimpan cerita panjang tentang kehancuran, tentang sawit yang menggantikan rimba, tentang kayu yang ditebang tanpa pernah diganti. Namun di tengah arus itu, Komunitas Inisiatif Konservasi Hutan Wakaf berdiri dengan keyakinan sederhana: masa depan bisa diubah jika kita setia pada tujuan.
Maka fokus pada tujuan, fokus pada visi, bukan sekadar semboyan. Ia adalah jalan yang mereka tempuh dengan telapak kaki yang basah oleh tanah, dengan tangan yang kotor oleh lumpur, dengan kesadaran bahwa hidup bersama bumi adalah kesetiaan yang paling luhur.
Dan barangkali di situlah letak keindahan gerakan ini: bukan hanya menanam pohon, tetapi menanam makna.
ikhw.org