Percakapan Manusia dan Alam

Mungkin, yang lebih penting dari sekadar menanam pohon adalah menanam kesadaran. Komunitas Inisiatif Konservasi Hutan Wakaf mengerti itu. Mereka bukan hanya menyusun peta lahan atau mengukur luas wilayah yang bisa dihutankan kembali, melainkan juga merawat gagasan bahwa alam memiliki nilai intrinsiknya sendiri: sebuah harga yang tidak bisa ditimbang oleh pasar, tidak bisa dihitung oleh timbangan ekonomi. Nilai itu melekat, sebagaimana cahaya pada matahari.

Maka, yang mereka lakukan tidak sekadar konservasi. Ia adalah pendidikan batin, sebuah upaya mengingatkan manusia bahwa hidupnya tak terpisah dari pohon, dari sungai, dari udara yang dihirupnya. Etika lingkungan tumbuh dari kesadaran itu. Ia bukan hanya kumpulan aturan, melainkan sikap: bagaimana manusia menahan diri, menakar kebutuhannya, dan mengerti bahwa hak hidup bukan hanya milik dirinya, tapi juga milik burung yang hinggap di dahan atau jamur yang tumbuh di balik batang yang rebah.

Dalam etika semacam ini, pelestarian alam bukan sekadar proyek jangka pendek, melainkan fondasi bagi sebuah masa depan yang berkelanjutan. Dari situlah dukungan terhadap kebijakan yang berpihak pada lingkungan memperoleh kekuatannya. Bukan karena angka, bukan karena laporan resmi, melainkan karena manusia belajar merasa: bahwa kehancuran alam berarti kehancuran dirinya sendiri.

Dari gagasan itu, lahirlah sebuah program yang mereka sebut Akademi Etika Lingkungan (AEL). Namanya sederhana, tapi isinya sebuah eksperimen yang berani: membawa pendidikan ke hutan, ke alam bebas. Di sana, anak-anak tidak hanya duduk di bangku, melainkan berhadapan langsung dengan tanah basah, dengan aroma lumpur, dengan bisik dedaunan yang bergetar oleh angin. Mereka belajar dengan seluruh indera, bukan sekadar dengan buku.

Pendidikan eksperiensial seperti ini mengembalikan tubuh dan pikiran pada kesatuannya dengan alam. Anak-anak menemukan bahwa hutan bukan sekadar latar belakang kehidupan, melainkan ruang hidup itu sendiri. Mereka bermain, meneliti, sekaligus merenung: bahwa di balik seekor semut yang berjalan di atas batang kayu, ada sebuah hukum kehidupan yang lebih besar, yang mengikat seluruh makhluk.

Mungkin di situlah letak harapan yang sebenarnya. Bukan pada wacana kebijakan yang terus berubah, bukan pada pertemuan besar yang sering hanya menghasilkan janji, melainkan pada imajinasi anak-anak yang tumbuh dari pengalaman langsung bersama alam. Dari situ, kita belajar bahwa keberlanjutan adalah warisan yang harus dipelihara, bukan sekadar diwariskan.

Hutan wakaf, etika lingkungan, dan pendidikan anak-anak—semuanya adalah percakapan yang berlapis. Percakapan antara manusia dan alam, antara generasi sekarang dan yang akan datang. Ia mengingatkan kita pada satu hal: masa depan bukan milik kita sepenuhnya. Ia hanya pinjaman, yang harus dikembalikan dalam keadaan utuh, atau setidaknya lebih baik dari apa yang kita terima hari ini.

ikhw.org

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *